Sabtu, 07 Maret 2009

Festival Kulit


Hotel berbintang itu megah menjulang. Di dalamnya, ruangan terang. Lampu kristal berkilauan. Orang-orang lalu-lalang. Malam ini ada festival kulit di sana. Ini adalah ajang pameran bagi para produsen dan pencinta produk kulit. Festival ini bertempat di expo center hotel itu. Satu-satunya hotel yang memiliki fasilitas expo center, sehingga memberinya predikat bintang enam. Stan-stan berjejer memamerkan berbagai produk kulit, mulai dari mebel kulit sampai kerupuk kulit. Para pengunjung menunjukkan kecintaan mereka dengan memakai produk kulit. Ada yang di kepala, tubuh, pinggang, mau pun kaki.
Feli memasuki expo center dan mengedarkan pandangan mengamati sekelilingnya. Ia dapat tugas untuk meliput kegiatan ini. Jadi pertama-tama, Feli membuat catatan kecil tentang keadaan festival secara umum. Lalu ia pergi menemui panitia penyelenggara kegiatan untuk mendapatkan beberapa data tambahan. Dari informasi seorang panitia, Feli mendapat info tentang sudah berapa kali kegiatan tersebut dilaksanakan, untuk berapa lama festival akan berlangsung, alasan pemilihan tempat, kendala-kendala dalam mempersiapkan kegiatan, jumlah peserta festival, jumlah rata-rata pengunjung yang datang setiap harinya, dan penghargaan-penghargaan yang akan diberikan pada peserta. Setelah itu, Feli berkeliling untuk mewawancarai beberapa peserta dan pengunjung. Berharap mendapatkan sesuatu yang menarik sehingga menambah nilai plus untuk artikelnya.
Feli berhenti di depan sebuah stan bertuliskan "Go Green Leather".
Apa ini? Dia bertanya-tanya dalam hati. akhirnya, memutuskan untuk mencari tahu.
"Ini konsepnya berasal dari keinginan untuk mematahkan stereotype negatif yang sering ditujukan pada usaha seperti ini. Usaha dengan bahan baku kulit biasanya dituding sebagai penyebab kelangkaan beberapa spesies buaya dan ular. Merusak keseimbangan alam, katanya. Apalagi setelah isu global warming santer belakangan ini. Hilangnya beberapa spesies hewan, termasuk ular dan buaya, disebut-sebut memperparah kerusakan alam. Tudingan terhadap kamu semakin keras. Makanya beberapa tahun terakhir kami pun menternakkan buaya dan ular. Bahan bakunya diambil secara selektif. kalau pohon, istilahnya tebang pilih. Kami akan menolak mentah-mentah jika ada yang memesan produk berbahan baku binatang langka."
"Itu egois namanya. Pesanan seperti itu biasanya hanya untuk prestige. Berapa pun bayarannya, tidak akan bisa mengganti apa yang telah diambil dari alam."
Feli manggut-manggut. Kagum dengan semangat badan usaha ini. Tetap berbisnis, tanpa harus merampok alam. Feli semakin kagum ketika melihat beberapa penghargaan dari berbagai organisasi lingkungan hidup.
Ini menarik, pikir Feli. Saya bisa memuatnya di kolom tersendiri, Kesadaran Lingkungan dalam Berbisnis.
Feli berkeliling lagi. Ngobrol-ngobrol kecil dengan beberapa peserta pameran dan pengunjung. Hingga pandangannya tertumbuk pada seorang pengunjung ibu-ibu berpenampilan mentereng. Bagaimana tidak, dari parasnya ibu-ibu itu mungkin berusia sekitar tiga puluh akhir. Tapi ia mengecat rambutnya pirang blonde. Ia juga mengenakan kaos dan celana jeans ketat gaya ABG, menunjukkan lekuk-lekuk kurva berisi lemak. Dipadu dengan selop berwarna keemasan setinggi kurang lebih tujuh senti. Tas kulitnya warna ungu terang dan ikat pinggangnya putih berkilau dengan motif oranye yang mencolok. Tampaknya ia ibu-ibu penggemar produk kulit.
Feli mendekatinya, meminta ijin untuk wawancara. Ia dengan segera menyetujui.
"Tamara," ia memperkenalkan diri, setengah memamerkan cincin berlian di jemarinya. Dengan cepat ia menjelaskan tentang dirinya, suaminya, dan teman-teman arisannya. Setelah puas menyebut dan bercerita tentang koleksi merek-merek terkenal miliknya, barulah ia bercerita tentang ikat pinggang dan tas yang ia kenakan.
"This is my favourite belt," katanya. "Harganya ratusan juta. Kulit ular spesies dream boa yang langka. Kalo tas ini, kulit buaya muara. Lokal punya, tapi lumayan susah dapatnya. They're my favourite stuff." Ia bercerita dengan wajah berbinar-binar.
Glekk! Feli menelan ludah. Tampaknya wanita ini penggemar prestige. Tapi Feli tetap tersenyum padanya demi sopan santun. Senyum kecut, maksudnya.
Apa yang dipikirkan wanita ini? Feli bertanya-tanya dalam hati. Mudah-mudahan dia tidak mendatangi stan "Go Green Leather". Bisa-bisa dia diusir. Hehe!
Feli segera berterima kasih dan beranjak dari situ. Sebelum ludah yang ia tahan di kerongkongan berubah menjadi muntahan.
Namun ketika Feli berbalik, tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar. Seluruh mata sontak mengarah ke pintu, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Semenit kemudian, si sumber keributan masuk.
Di pintu, ia berdiri. Seorang gadis cantik yang menggenapi Festival Kulit dengan keindahan yang dipakainya. Menandingi kilauan semua produk kulit yang dipamerkan.
Di pintu, ia berdiri. Seorang gadis cantik yang mengenakan kulitnya sendiri. Bercahaya, tanpa sehelai benang pun menghalangi. Ini adalah Festival Kulit, pameran kulit dari beragam spesies makhluk hidup. Gadis itu, perwakilan dari spesies manusia, jenis perempuan. Jenis yang paling sering dikomersialisasikan. Jadi sekarang, tinggal pilih mana suka...

Kamis, 05 Maret 2009

Renungkan

Ratusan permata
dalam kelamnya beludru tirai malam
menjadi tawar,
hambar,
hanya ada pudar.

Kala cahaya rasa berpendar
maka lidah akal pikiran pun tersadar.
Menjilati pahitnya nalar
bahwa realitas bisa kasar.

Ia cabik yakinku.
Ia bunuh mimpimu.

Lantas,
akankah kita bertahan
tanpa keyakinan dan impian?

Jelaskan Padaku

Jelaskan padaku
tentang
hidup yang serupa mimpi,
cinta yang serupa khayal,
manusia yang serupa gila,
dan
diriku yang serupa tiada.

Jelaskan padaku
tentang arti dari;
benar,
salah,
dan bimbang.

Jelaskan padaku
apakah bertanya adalah dosa.

Rabu, 18 Februari 2009

Mataku yang Basah


"Ketika kamu melihat mata kering, ketahuilah kekeringan itu adalah tanda hati yang keras. Maka beruntunglah orang yang senantiasa menangis. Karena ia mengakui kelemahannya di hadapan Tuhan."
(S. M. Syahata)


Kata-kata di atas dikirimkan via sms oleh seorang adik, yang katanya, teringat pada saya ketika membaca sebuah buku dan menemukan kutipan di atas tersebut.
Mungkin, untuk orang-orang yang belum begitu memahami saya, akan merasa aneh jika mendengar hal ini:
saya mungkin adalah orang yang paling sering menangis. Percaya atau tidak, saya menangis hampir setiap malam. Kenapa? Sepelik itukah hidupku? Tidak! Hidupku biasa saja. Sama seperti orang lain. Terkadang sulit, terkadang pula baik-baik saja. Hanya saja, saya memang butuh menangis. Buat saya, menangis itu seperti aliran air mata yang membawa pergi gundukan lumpur di dasar hati, dalam bentuk molekuk-molekul garam. Lumpur hati itu bisa apa saja, bisa masalah besar, kecil, atau justru kebahagiaan. Yang saya tahu hanyalah saya merasa lega setelah menangis. Bahkan ketika tidak terjadi apa-apa hari itu.
Lebih daripada itu, buat saya menangis mempunyai makna yang lain. Lebih dari sekedar ekspresi. Lebih dari sekedar pelampiasan emosi. Menangis bukan berarti cengeng. Banyak orang yang hampir tidak pernah menangis dalam hidupnya, tapi selalu mengeluh. Mengeluh, kenapa hidupku seperti ini. Seolah-olah mereka adalah orang paling menderita di atas dunia ini. Orang-orang inilah yang sesungguhnya cengeng, tanpa perlu mengeluarkan setitik air mata pun. Tak perlu menangis untuk menjadi orang cengeng. Cukup mengeluh, menyerah, dan berhenti berjuang. Berhentilah HIDUP. Hidup, yang benar-benar HIDUP. Maka kamu telah jadi orang cengeng.
Menangis adalah ungkapan pengakuan dan rasa syukur. Kita hadir di dunia ini dengan judul "manusia". Dan hakikatnya, manusia memiliki rasa--saya tidak berbicara tentang rasa cinta, tapi rasa secara umum yang dianugerahkan Tuhan untuk kita. Rasa itulah yang menjadikan kita manusia, bukan malaikat, bukan binatang, bukan pula benda mati. Menyadari sepenuhnya itu ada di dalam kita, berarti kita tidak perlu melakukan penyangkalan. Penyangkalan atas rasa tersebut, hanya karena takut dikatakan lemah. Kalau lemah, lantas kenapa?! Sombong sekali kita, manusia, tidak ingin dikatakan lemah. Bukankah kita memang makhluk lemah, sampai-sampai Tuhan pun harus menundukkan gunung-gunung dan binatang-binatang (alam semesta) agar manusia dapat hidup di dalamnya?!
Tanpa kata-kata, cukup dengan menangis, secara tidak langsung kita pun berujar, "Tuhan, aku adalah manusia."
Tanpa kata-kata, cukup dengan menangis, secara tidak langsung kita pun berujar, "Tuhan, aku adalah lemah."
Dan mengakui bahwa kita adalah manusia. Benar-benar adalah manusia. Manusia seutuhnya. Adalah bentuk kesyukuran pada Tuhan. Kesyukuran karena kita telah tercipta sebagai manusia. Sahaya-Nya. Khalifah-Nya. Kesyukuran tanpa perlu bersujud. Kesyukuran tanpa perlu berucap. Kesyukuran tanpa perlu menengadahkan kedua telapak tangan. Dan bagi saya, terkadang kesyukuran tidak perlu diekspresikan dengan bersujud, berucap, dan menengadahkan kedua telapak tangan.
Terkadang, cukup dengan menangis. Cukup dengan menangis...

Sabtu, 07 Februari 2009

Saya Ingin Mendesah


Saya ingin mendesah...mendesah...


Mendesah. Apa yang muncul di kepala kita ketika mendengar kata itu. Secara umum, mungkin, akan terbayang suara napas perempuan yang merdu dan menggemaskan. Boleh juga ditambahkan visualisasi, bayangan tentang wajah cantik seorang perempuan, sedikit mendongak di atas bantal dengan rambutnya yang terurai, mata terpejam, bibir sediki terbuka, mengeluarkan napas yang mampu melambungkan ego laki-laki yang mendengarkan.

Ketika seorang perempuan di atas ranjang mendesah, maka nafsu dan ego pasangan prianya pun melambung. Desahan menimbulkan sensasi libido bagi pria. Desahan juga menandakan si wanita merasakan kenikmatan di atas ranjang. Dan itu merupakan simbol kekuatan sensualitas laki-laki, yang pada akhirnya mendongkrak harga diri si laki-laki secara drastis.

Nasib perempuan, tidak jauh berbeda dengan nasib asosiasi atau pencitraan kata “mendesah”. Sering menjadi objek kesalahpahaman. Karena kountur budaya, perempuan, yang seharusnya menjadi pasangan kaum laki-laki, terpelintir menjadi objek taklukan kaum Adam. Layaknya singa liar yang dikejar hingga ke ujung Afrika. Karena kepalanya hendak dipenggal, kemudian dibawa pulang, dan dipamerkan di depan teman-temannya untuk gagah-gagahan.

Saya ingin mendesah. Mendesah. Tapi bukan karena orgasme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendesah berarti membuang napas panjang untuk mengenyahkan kekesalan. Makanya saya ingin mendesah. Saya ingin mendesah untuk membuang kekesalan ini. Kesal, karena, betapa kountur budaya, masyarakat, dan kaum laki-laki begitu tidak adil pada kaum perempuan. Kesal, karena, feminisme dan emansipasi disalah-artikan. Kesal, karena, di tengah kemajuan ini, nasib perempuan masih saja miris. Kesal, karena, modernitas yang seharusnya menjadi celah bagi perbaikan nasib perempuan, justru malah semakin mengeksploiasi baik secara fisik, mental, apalagi seksual.

Maka dari itu, saya ingin mendesah. Apalagi, kalau melihat kenyataan bahwa hanya sedikit orang—khususnya perempuan—yang menyadari semua masalah itu. Terlebih sedikit lagi yang mampu melakukan sesuatu. Dan hampir tidak ada, yang berhasil mengubahnya.

Makanya saya ingin mendesah. Tapi bukan karena orgasme.

Jumat, 16 Januari 2009

Tao yang Terselip


Mulanya hanya ingin berdiskusi tentang sebuah puisi yang baru saja selesai saya buat. Jadi kami nongkrong di tempat nongkrong sejuta umat kampus Fakultas Bahasa, Kafe Jerman! Kafe kecil yang murah meriah (gak pake mencret) ini memang lumayan asik buat nongkrong. Letaknya pas di pinggir jalan tempat lalu-lalang para mahasiswa keluar masuk kampus. Lumayan buat cuci mata.
Tapi kami memilih duduk di bagian dalam, supaya lebih tenang. Mr. Pang, junior satu tingkat di bawah saya mulai membaca. Sengaja saya panggil dia untuk mengkomentari tulisan saya, karena secara (cieee...istilahnya!) dia rajin ikut kajian-kajian, baik sosial maupun sastra. Beda dengan saya yang selalu cari-cari alasan dan lari kalau ada yang panggil kajian. Bukan karena apa, saya hanya merasa kurang nyaman dengan gaya pembahasan yang terlalu dogmatis dan pedagogi, di sebagian besar forum-forum kajian.
Selesai baca, Mr. Pang mulai berkomentar, sambil mengernyitkan dahinya. "Ini bukan sosialis, bukan juga feminis, bukan juga strukturalis, karena rimanya tidak beraturan." Dalam hati saya membatin, "Rimanya bukan tidak beraturan, tapi berantakan, hehe!" Akhirnya Mr. Pang berkesimpulan, kalau puisi ini masuk black literary. Golongan yang tak bergolongan.
Lantas, entah bagaimana percakapan kami membawa dia untuk menjelaskan tentang warna hitam dan putih.
"Ada berapa warna di dunia ini, kak?" dia bertanya.
Saya menggeleng, "Nggak tau!"
Dasar orang yang nggak mau susah! Saya menggerutu sendiri dalam hati.
"Di dunia ini hanya ada dua warna hitam dan putih," dia mulai menerangkan. "Putih adalah sumber dari bermacam-macam warna, merah, kuning, hijau, ungu."
"Tapi, hitam mematikan semua warna. Coba bayangkan kalau mati lampu, gelap kan? Hitam, nggak kelihatan apa-apa, nggak ada lagi warna, kan? Tapi, coba kita pikirkan lagi, apa yang bisa mengusir kegelapan? Cahaya. Jika kegelapan diasosiasikan dengan hitam, maka cahaya diasosiasikan dengan putih. Di mana ada cahaya, maka akan ada bayangan. Jika ada putih maka selalu ada hitam yang membayangi. Begitu pula sebaliknya."
"Tao..." Saya mendesis padanya sambil manggut-manggut, nurut dengan penjelasannya.
Kesimpulan singkat: puisi saya tidak jelas masuk aliran mana (kayak orangnya, tidak jelas!).
Sisanya, kita memiliki kesimpulan masing-masing. Sebanyak warna yang bisa dihasilkan oleh warna putih, yang akan selalu menemani hitam.

Rabu, 07 Januari 2009

Senandung Pada Langit


Senandung pada langit.
Berjuta air mata pun bangkit.
Menandingi gelap
dalam selimut subuh.
Berlindung atap
manusia tetap rapuh.

Taman-taman itu masih jauh.
Masih terlalu jauh.
Masih kuatkah diri ini mengayuh?
Meski telah berkeringat jenuh
dan menangisi peluh.
Bayang-bayang telah lusuh
namun tetap di sisi dalam patuh.
Hanya lilin-lilin menemani
alunan senyap dalam sunyi.
Rindu ingin kembali.

Suatu hari,

kuharap senandung ini akan dijawab.

Published: Fajar, Minggu 4 Januari 2009